artikel indonesia kirab malam satu sura

TRADISI KIRAB MALAM 1 SURA DI KERATON SURAKARTA, JAWA TENGAH

Ahmadi

Bahasa dan Sastra Jawa, achmadie53@gmail.com, 085747499455

Universitas Negeri Semarang

 

Abstrak

Di Keraton Kasultanan Surakarta, ada sekawanan kerbau (kebo) yang dipercaya keramat, yaitu  Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule  adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.

Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet. Sekadar catatan,  sampai sekarang pihak keraton tidak pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka Kyai Slamet ini.

Sejak 250 tahun lalu hingga kini, kebo bule Kyai Slamet memiliki makna khusus, sekaligus mendapat tempat terhormat dalam kehidupan di Keraton Kasunanan Surakarta.Tentu saja bukan kebo sembarang kebo.Namun inilah kebo yang menjadi pepunden keramat di wilayah Surakarta.Tak ada yang bisa memastikan sejak kapan kebo bule Kyai Slamet ini menjadi klangenan keraton.Banyak versi tentang asal muasal kebo berkulit albino ini.

  1. Pendahuluan
  2. Rumusan Masalah

1.1 Bagaimana awal mula tradisi suronan di Keraton Surakata?

1.2 Bagaimana jalanya tradisi kirab malam 1 Suro?

1.3 mengapa masyrakat masih percaya dengan mitos yang ada?

Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule  tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta –sekitar 500 meter arah selatan Kantor Balai Kota Solo.

Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, Kebo Bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura menurut pengganggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton.

Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri  sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari keraton jika  menyaksikan kirab.

Kirab itu sendiri berlangsung tengah  malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung “kemauan” dari kebo Kyai Slamet. Sebab, adakalanya kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00.Kirab puasaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai Slamet. Jika saatnya  tiba,  biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton. Maka, kirab pun dimulai. Kawanan keerbau keramat akan berada di barisan terdepan, mengawal  pusaka keraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Kerumunan orang pun menyemut dari keraton hingga di sepanjang perjalanan yang dilalui arak-arakan.

Tradisi kirab malam 1 suro adalah tradisi turun temurun yang ada di Keraton Surakarta. Di dalam kirab tersebut ada hal yang unik dimana masyarakat berebut sesuatu yang digunakan dalam kirab tersebut seperti janur makanan kebo bule itu sendiri yaitu ketela dan kopi panas. Ada hal yang lebih aneh lagi yaitu masyrakat berebut kotoran kebo bule atau biasa disebut kyai slamet.

Kebo bule itu sendiri adalah hewan pemberian dari bupati ponorogo kepada paku buwana II. Yang diperuntukan sebagai cucuk lampah atau pengiring pusaka di Keraton Surakarta, pusaka tersebut adalah kyai slamet jadi kebo yang berwarna putih kemerah-merahan tersebu sampai sekarang dikenal dengan kyai slamet yang sebenarnya nama tersebut adalah nama dari pusaka.

 

 

  1. Metode Observasi

Metode yang saya gunakan adalah metode langsung seperti wawancara langsung kepada orang yang setiap tahun berkecimpuk dalam kirab malam 1 sura dan para warga yang meliputi.

  1. Wujud

Kirab malam satu sura adalah suatu acara yang diadakan oleh kasultanan surakarta untuk merawat pusaka-pusaka yanga ada atau yang dipunyai oleh Keraton Surakarta. Di dalam tradisi tersebut ada suatu tradisi dimana pada malam 1 sura pusaka-pusaka keraton diarak keliling kota Surakarta. Dan kebo bule atau kyai slamet dijadikan cucuk lampah untuk mengiringi pusaka-pusaka.

  1. Kemasan

Saya mengemasnya dalam bentuk vidio wawancara dan vidio berjalanya kirab malam 1 sura di keraton surakarta yang didalamnya berisi semua yang berhubungan dengan kirab malam 1 sura.

  1. Proses

Proses observasi pertama menghubung anggota keraton yang setiap tahun ikut dalam acara kirab malam 1 sura, kemudian saya wawancarai. Kemudian saya juga mengambil gambar atau vidio berjalanya acara kirab maam 1 sura di Keraton Surakarta.

 

  1. Hasil dan Pembahasan

DI Keraton Kasunanan Surakarta, ada sekawanan kerbau (kebo) yang dipercaya keramat, yaitu  Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule  adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.

Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet. Sekadar catatan,  sampai sekarang pihak keraton tidak pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka Kyai Slamet ini.

Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule  tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta –sekitar 500 meter arah selatan Kantor Balai Kota Solo.

Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, Kebo Bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura menurut pengganggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton.

Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri  sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari keraton jika  menyaksikan kirab.

Kirab itu sendiri berlangsung tengah  malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung “kemauan” dari kebo Kyai Slamet. Sebab, adakalanya kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00.Kirab puasaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai Slamet. Jika saatnya  tiba,  biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton. Maka, kirab pun dimulai. Kawanan keerbau keramat akan berada di barisan terdepan, mengawal  pusaka keraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Kerumunan orang pun menyemut dari keraton hingga di sepanjang perjalanan yang dilalui arak-arakan.

Danyang menarik: orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga  cenderung tidak  masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule.Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut  mendapatkannya.  Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan  rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.

Mengapa justru kawanan kebo bule tersebut  yang menjadi tokoh utama dalam tradisi ritual kirab malam 1 Sura?

Menurut Kepala Sasono Pustoko Keraton Surakarta Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger, kirab pusaka dan kerbau sebenarnya berakar pada tradisi sebelum munculnya Kerajaan Mataram (Islam), pada prosesi ritual wilujengan nagari.Pusaka dan kerbau merupakan simbol keselamatan.Pada awal masa Kerajaan Mataram, pusaka dan kerbau yang sama-sama dinamai Kyai Slamet, hanya dikeluarkan dalam kondisi darurat, yakni saat pageblug (wabah penyakit) dan bencana alam.

Sementara sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Sudarmono, menuturkan, selain dekat dengan kehidupan petani, sosok kerbau memang banyak mewarnai sejarah kerajaan di Jawa. Semasa Kerajaan Demak, misalnya, seekor kerbau bernama Kebo Marcuet mengamuk dan tak ada satu prajurit pun yang bisa mengalahkannya. Karena meresahkan, kerajaan menggelar sayembara: barang siapa mampu mengalahkannya akan diangkat menjadi senopati.

Secara mengejutkan, Jaka Tingkir atau Mas Karebet mampu mengalahkan Kebo Marcuet dengan tongkatnya. Mas Karebet kemudian  mempersunting putri Raja Demak Sultan Trenggono, dan akhirnya mengambil alih kekuasaan.

Kemunculan kebo bule Kyai Slamet dalam kirab, kata Sudarmono, adalah perpaduan antara legenda dan sage (cerita rakyat yang mendewakan binatang).Dalam pendekatan periodisasi sejarah, sosok kebo bule ditengarai hadir semasa Paku Buwono (PB) VI pada abad XVII.PB VI merupakan raja yang dianggap memberontak kekuasaan penjajah Belanda dan sempat dibuang ke Ambon.

Pada sisi lain Puger menuturkan, Keraton Surakarta tidak pernah menyatakan tlethong (kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah. ”Kalau tlethong dianggap menyuburkan sawah karena dapat dibuat pupuk, itu masih diterima akal. Namun kami memahami ini sebagai cara masyarakat menciptakan media untuk membuat permohonan. Mereka sekadar membutuhkan semangat  untuk bangkit.”

Pada saatini saat ini kebo bule keraton berjumlah 12 ekor. Namun kebo bule yang dipercaya sebagai keturunan asli Kyai Slamet sendiri hingga saat ini hanya tersisa enam ekor. Mereka adalah Kiai Bodong, Joko Semengit, Debleng Sepuh, Manis Sepuh, Manis Muda, dan Debleng Muda.

Kyai Bodong sendiri memiliki adik laki-laki yang diberi nama Kyai  Bagong. Namun, kata Winarno, kerbau tersebut sekarang ini berada di kawasan Solo Baru, Sukoharjo, dan dengan alasan yang enggan disebutkan, kebo bule itu tidak bisa dibawa pulang ke Keraton Surakarta.

Sejak dulu, sekawanan kebo keramat tersebut memang memiliki banyak keunikan.Kawanan kerbau ini, misalnya, sering berkelana ke tempat-tempat jauh untuk mencari makan, tanpa diikuti abdi dalem yang bertugas menggembalakannya. Mereka sering sampai ke Cilacap yang jaraknya lebih 100 km dari Solo, atau  Madiun di Jawa Timur. Namun anehnya, menjelang Tahun Baru Jawa, yakni 1 Sura atau 1 Hijriah, mereka akan kembali ke keraton karena akan mengikuti ritual kirab pusaka.

 

Gambar dari dari kirab malam satu sura di Keraton Surakarta

Gambar 1.1.kebo bule keraton surakarta

Gambar 1.2. pawang kebo bule

 

 

Gambar 1.3. suasana Keraton Surakarta sebelum kirab dimulai

  1. Penutub
  2. Kesimpulan

Kesimpulanya adalah kirab malam satu sura yang ada di Keraton Surakarta diadakan setiap tanggal satu sura atau tanggal satu muharam dalam kalender islam. Di keraton surakarta diadakanya kirab bertujuan untuk merumat para pusaka milik keraton surakarta dengan cara dicuci dan setelah itu diarak mengelilingi kota solo. Dan yang menjadi cucuk lampah dalam kirab tersebuta adalah sebuah kebo bule yang dimiliki keeraton.

  1. Saran

Tradisi kirab budaya yang sudah ada tersebut harus terus dilestarikan dan dilaksanakan dan jangan sampai ada yang merusak tradisi unik tersebut karena tradisi tersebut berbeda dengan tradisi-tradisi yang lain.

Daftar pustaka

http://tempatwisatadaerah.blogspot.co.id/2015/10/kirab-kebo-bule-malam-1-sura-di-solo.html?m=1

http://regional.kompas.com/read/2015/10/15/215903361/inilah.makna.kebo.bule.kyai.slamet.bagi orang jawa

 

 

 

Leave a comment